HUKUM DAN
PEMBAGIANNYA
Makalah Ini Ditujukan Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul
Fiqh
Dosen Pembimbing:
Drs. Ali Said
Ismail, M.Pd.I
Penulis:
Ahmad
Fauqi Alie
Ahmad
Nawarudin
Khoirul
Anwar
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS HASYIM ASYARI
TEBUIRENG JOMBANG
2014-2015
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Sumber
hukum islam ada dua: al-Quran dan Hadis. Adapun dasar hukum islam kurang lebih
ada sebelas: Dasar hukum yang disepakati ulama ada empat: al-Quran, Hadis,
Ijma’ dan Qiyas. Dasar hukum yang tidak disepakati oleh ulama ada tujuh:
Istihsan, Maslahah Mursalah, Urf (adat istiadat), Istishab, Syar’u Man Qablana,
Madzhab Shohabi, Sadd az-Zariah.
Lalu
bagaimana mengenai tentang hukum Taklifi, hukum Wadh’I dan hukum Takhyiri?
Disini kami selaku penulis akan mengulasnya secara tuntas meskipun hal tersebut
tak luput dari ketidaksempurnaan yang telah paten dimiliki setiap insan. Dengan
bantuan teman-teman dan Bapak Dosen khususnya, hal tersebut akan lebih
mendekati kata sempurna.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian hukum dan bagaimana pembagiannya?
2. Apa
pengertian hukum Taklifi?
3. Apa
pengertian hukum Wadh’i?
4. Apa
pengertian hukum Takhyiri?
C.
Tujuan
1. Mengenal
hukum beserta pembagiannya.
2. Mengenal,
memahami dan mengamalkan hukum Taklifi.
3. Mengenal,
memahami dan mengamalkan hukum Wadh’i.
4. Mengenal,
memahami dan mengamalkan hukum Takhyiri.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Hukum
Hukum[1]
adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan
kelembagaan. dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi
dan masyarakat dalam berbagai cara
dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat
terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum
pidana yang berupayakan
cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka
kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas
kekuasaan politik serta cara
perwakilan mereka yang akan dipilih. Administratif hukum digunakan untuk
meninjau kembali keputusan dari pemerintah, sementara hukum internasional
mengatur persoalan antara berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari perdagangan
lingkungan peraturan atau tindakan militer. filsuf Aristotle menyatakan bahwa
"Sebuah supremasi hukum akan jauh lebih baik dari pada dibandingkan
dengan peraturan tirani yang merajalela."
Hingga
saat ini, belum ada kesepahaman dari para ahli
mengenai pengertian hukum. Telah banyak para ahli dan sarjana hukum yang mencoba untuk
memberikan pengertian atau definisi hukum, namun belum ada satupun ahli atau sarjana
hukum yang mampu memberikan pengertian
hukum yang dapat diterima oleh semua pihak.[2] Ketiadaan definisi hukum yang dapat
diterima oleh seluruh pakar dan ahli hukum pada gilirannya memutasi adanya
permasalahan mengenai ketidaksepahaman dalam definisi hukum menjadi mungkinkah
hukum didefinisikan atau mungkinkah kita membuat definisi hukum? Lalu
berkembang lagi menjadi perlukah kita
mendefinisikan hukum?.
Sedangkan hukum
syara’ menurut ulama ushul ialah doktrin (kitab) syari’ yang bersangkutan
dengan perbuatan orang-orang mukallaf secara
perintah atau
diperintahkan memilih atau berupa ketetapan (taqrir). Sedangkan menurut ulama
fiqh hukum syara
ialah efek yang dikehendaki oleh kitab syari’ dalam perbuatan seperti
wajib, haram dan mubah .
Syariat[3]
menurut bahasa berarti
jalan. Syariat menurut istilah berarti hukum-hukum yang diadakan oleh Allah
untuk umatNya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik hukum yang berhubungan dengan kepercayaan
(aqidah) maupun hukum-hukum
yang berhubungan dengan amaliyah. Hukum
Islam.
Hukum
Islam berarti
keseluruhan ketentuan-ketentuan perintah
Allah yang wajib diturut (ditaati) oleh seorang muslim. Dari definisi tersebut
syariat meliputi:
1. Ilmu
Aqoid (keimanan).
2. Ilmu
Fiqih (pemahaman manusia terhadap ketentuan-ketentuan Allah).
3. Ilmu
Akhlaq (kesusilaan).
Berdasarkan
uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa hukum Islam adalah syariat
yang berarti hukum-hukum yang diadakan oleh
Allah untuk umat-Nya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik hukum yang berhubungan
dengan kepercayaan (aqidah) maupun hukum-hukum yang berhubungan dengan amaliyah
(perbuatan).
B.
Hukum
Taklifi
Hukum taklifi adalah
Hukum yang mengandung perintah, larangan atau memberi pilihan kepada seorang
mukallaf. Perintah Allah terbagi menjadi dua; Wajib dan Sunnah. Larangan Allah terbagi menjadi dua; Haram dan
Makruh. Pilihan boleh (Mubah) terbagi menjadi dua; boleh mengerjakan boleh
meninggalkan.
1. Wajib.
Menurut bahasa Wajib berarti tetap atau
pasti. Adapun menurut istilah Wajib adalah: “sesuatu yang diperintahkan oleh
Allah dan Rasulullah untuk dilaksanakan oleh seorang mukallaf. Wajib terbagi
menjadi tiga bagian secara garis besar:
a. Dari
sisi pembebanannya: Wajib Ain dan Wajib Kifayah.
b. Dari
sisi kandungan perintah: Wajib Mu’ayyan dan Wajib Mukhoyyar.
c. Dari
sisi waktu pelaksanaannya: Wajib Mutlak dan Wajib Muaqqat.
2. Sunnah.
Hukum Sunnah merupakan sesuatu yang
dianjurkan. Menurut sebagian ulama Ushul, Sunnah terbagi menjadi tiga bagian:
a. Sunnah
Muakkad.
b. Sunnah
Ghairu Muakkad.
c. Sunnah
Zawaid.
3. Haram.
Haram adalah sesuatu yang dilarang
mengerjakannya. Di dalam kajian Ushul Fiqih diuraikan bahwa sesuatu yang
dilarang oleh Allah pasti membawa kerusakan dan bahaya. Sedangkan sesuatu yang
diwajibkan oleh Allah pasti membawa kebaikan dan kedamaian.
Ulama Ushul membagi haram kedalam dua
bagian:
a. Haram
Li-Dzatihi.
b. Haram
Li-Ghoirihi
4. Makruh.
Makruh secara bahasa berarti “sesuatu
yang dibenci”. Adapun secara istilah, makruh adalah: “Sesatu yang dianjurkan
oleh syariat untuk meninggalkannya, bilamana ditinggalkan maka akan terpuji dan
bila dikerjakan tidak berdosa”. Contoh: berkumur pada bulan ramadlan.
5. Mubah.
Mubah secara bahasa berarti “sesuatu yang diperbolehkan”. Secara istilah mubah adalah: “sesuatu yang diberi pilihan oleh syariat apakah akan melakukan atau tidak melakukan, dan tidak ada hubungannya dengan dosa”. Contoh: makan dll.
Mubah secara bahasa berarti “sesuatu yang diperbolehkan”. Secara istilah mubah adalah: “sesuatu yang diberi pilihan oleh syariat apakah akan melakukan atau tidak melakukan, dan tidak ada hubungannya dengan dosa”. Contoh: makan dll.
C.
Hukum
Wadh’i
Hukum Wadl’i[4]
adalah Ketentuan syariat dalam bentuk menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat atau
sebagai mani’ (penghalang). Dengan demikian hukum wadl’I terbagi menjadi 3
macam: Sebab, Syarat dan Mani’ (penghalang).
1. Sebab.
Sebab adalah sesuatu yang dijadikan oleh
syariat sebagai tanda bagi adanya hukum, dan tidak adanya sebab sebagai tanda
tidak adanya hukum. Jika ada sebab maka ada hukum dan jika tidak ada sebab maka
tidak ada hukum.
Contoh: Tergelincirnya matahari menjadi
sebab datangnya waktu dluhur. Anak menjadi sebab seseorang mendapat warisan
orang tuanya. Tindakan perzinaan menjadi sebab seseorang dihukum cambuk. Gila
menjadi sebab hartanya dipegang oleh walinya. Jual beli menjadi sebab bagi
perpindahan kepemilikan barang.
2. Syarat.
Syarat adalah sesuatu yang tergantung
kepadanya adanya sesuatu yang lain, dan berada diluar hakekat sesuatu itu.
Contoh: Wudlu sebagai syarat sahnya
sholat. Si A berkata kepada si B: “Jika
kamu membantu saya maka hutangmu lunas.” Membantu di sini adalah sebagai
syarat hutang si B lunas. Menyarahkan ijazah sebagai syarat pendaftaran di
kampus UNHASY.
Syarat dibagi menjadi 2 macam: Syarat
Syar’I (Syarat yang ditetap-kan oleh syariat) dan Syarat Ja’li (Syarat yang ditetapkan
oleh mukallaf).
3. Mani’.
Mani’ adalah sesuatu yang ditetapkan
oleh syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum atau penghalang bagi
berfungsinya suatu sebab.
Contoh: Membunuh istri sebagai mani’
(penghalang) suami tidak mendapat warisan istri. Haidl sebagai mani’
(penghalang) seorang wanita mukallaf melakukan sholat. Hutang sebagai mani’
(penghalang) seseorang tidak wajib mengeluarkan zakat.
Mani’ dibagi menjadi 2 macam: Mani’
Hukum Syara’ dan Mani’ Sebab.
D.
Hukum
Takhyiri
Takhyir[5]
adalah Syari’ (Allah dan Rasul) memberikan pilihan kepada mukallaf untuk
memilih melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan. Hukum yang terambil
dari nash dengan gaya redaksi ini hukumnya adalah halal. Artinya seorang
mukallaf boleh melakukan / meninggalkan.[6] Dalam pembahasan ilmu ushul hukum,
takhyiri biasa disebut dengan mubah.
Redaksi Takhyiri antara
lain:
1. Menyatakan
bahwa suatu perbuatan, halal dilakukan. Contoh dalam Surat al-Baqarah Ayat 187
yang artinya “Dihalalkan bagimu pada
malam hari-hari puasa bercampur dengan istri-istrimu, mereka adalah pakaianmu
dan dan kamu adalah pakaian mereka...”
2. Pembolehan
dengan menafikan dosa dari suatu perbuatan, contoh dalam Surat al-Baqarah Ayat
173 yang artinya “Tetapi barang siapa
yang dalam keadaan terpaksa sedang ia tidak menginginkannya, dan tidak pula
melampaui batas maka tidak ada dosa baginya (makan), sesungguhnay Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”
3. Pembolehan
dengan menafikan kesalahan dari melakukan suatu perbuatan, contoh dalam Surat
al-Baqarah Ayat 235 yang artinya “Dan
tidak ada kesalahan bagimu meminang wanita-wanita itu (dalam ’iddah wafat)
dengan sindiran atau kamu menyembunyi-kan (keinginan mengawini mereka) dalam
hatimu...”
BAB
III
KESIMPULAN
Hukum syara’ sebagai
doktrin syari’ yang
bersangkutan
dengan perbuatan para mukallaf secara
perintah atau
diperintahkan memilih atau berupa taqrir. Hukum syara juga dikatakan
sebagai efek yang dikehendaki oleh kitab syari’ dalam perbuatan seperti
wajib, haram dan mubah.
Hukum
taklifi mengandung unsur perintah, larangan dan atau memberi pilihan kepada
seorang mukallaf. Perintah Allah ada dua; Wajib dan Sunnah. Larangan Allah ada dua; Haram dan Makruh. Dan
pilihan Mubah juga ada dua; boleh mengerjakan dan boleh boleh meninggalkan.
Hukum
Wadl’i adalah ketentuan syariat dalam bentuk menetapkan sesuatu sebagai sebab,
syarat atau sebagai mani’ (penghalang).
Takhyir
adalah pemberian pilihan kepada mukallaf untuk memilih melakukan atau tidak
melakukan suatu perbuatan. Hukum yang terkandung adalah halal. Artinya seorang
mukallaf boleh melakukan atau meninggalkannya. Dalam lokasi yang berbeda di pembahasan ilmu ushul, hukum
takhyiri lebih familiar disebut dengan mubah.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali, Muhammad At-Tahanawi.
“Kisyaaf Ishthilaahaat al-Funun”.
Beik,
Muhammad al-Khudhari.2007. “Ushul Fiqh”. terj.Faiz el-Muttaqien.
Jakarta. Pustaka Amani.
Bisri,
Adib dan Munawwir A. Fatah. 1999. “Kamus Al-Bisri”. Surabaya. Pustaka Progresif.
Karim, A. Syafi’i. 1997. “Fiqih Ushul Fiqih” (Cet.
I).
Bandung. Pustaka Setia.
[1] Hamilton,
Marci. God vs. the Gavel, page
296 (Cambridge University Press 2005): “The symbol of the judicial system, seen
in courtrooms throughout the United States, is blindfolded Lady Justice.”
[2] Norma
hukum dapat dibedakan antara norma hukum fakultatif dan norma hukum imperatif.
Sebagaimana sebutannya, norma hukum imperatif merujuk pada norma hukum yang
bersifat memaksa sedangkan norma hukum fakultatif adalah merujuk pada norma
hukum yang mengatur dan bersifat menambah atau melengkapi. Meski demikian
kadang pula dijumpai norma hukum yang sekaligus memiliki kedua sifat tersebut,
yakni bersifaf mengatur sekaligus bersifat memaksa.
[3]
Menurut
Prof. Mahmud Syaltout; “Syariat adalah peraturan yang diciptakan oleh
Allah supaya manusia berpegang teguh kepadaNya di dalam perhubungan dengan Tuhan dengan saudaranya sesama
Muslim dengan saudaranya sesama manusia, beserta
hubungannya dengan alam seluruhnya dan hubungannya dengan kehidupan.”
Menurut Muhammad ‘Ali At-Tahanawi dalam kitabnya Kisyaaf Ishthilaahaat al-Funun
memberikan pengertian bahwa syari’ah mencakup seluruh ajaran Islam, meliputi
bidang aqidah, ibadah, akhlaq dan muamallah (kemasyarakatan). Syari’ah disebut
juga syara’, millah dan diin.
[4] A. Syafi’i Karim, FIQIH USHUL FIQIH,
Cet.I, (Bandung:Pustaka Setia, 1997) hlm. 107
[5]
Adib Bisri, Munawwir A. Fatah, Kamus Al-Bisri (Surabaya: Pustaka
Progresif, 1999), hlm. 181.
[6]
Muhammad al-Khudhari Beik, Ushul Fiqh, terj.Faiz el Muttaqien (Jakarta:
Pustaka Amani, 2007), hlm. 63.
0 comments:
Posting Komentar