Rabu, 26 November 2014

Makalah Ushul Fiqh "Hukum dan Pembagiannya"




HUKUM DAN PEMBAGIANNYA
Makalah Ini Ditujukan Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh
Dosen Pembimbing:
Drs. Ali Said Ismail, M.Pd.I

Penulis:
Ahmad Fauqi Alie
Ahmad Nawarudin
Khoirul Anwar

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS HASYIM ASYARI
TEBUIRENG JOMBANG
2014-2015





BAB I
PENDAHULUAN
A.                Latar Belakang Masalah
Sumber hukum islam ada dua: al-Quran dan Hadis. Adapun dasar hukum islam kurang lebih ada sebelas: Dasar hukum yang disepakati ulama ada empat: al-Quran, Hadis, Ijma’ dan Qiyas. Dasar hukum yang tidak disepakati oleh ulama ada tujuh: Istihsan, Maslahah Mursalah, Urf (adat istiadat), Istishab, Syar’u Man Qablana, Madzhab Shohabi, Sadd az-Zariah.
Lalu bagaimana mengenai tentang hukum Taklifi, hukum Wadh’I dan hukum Takhyiri? Disini kami selaku penulis akan mengulasnya secara tuntas meskipun hal tersebut tak luput dari ketidaksempurnaan yang telah paten dimiliki setiap insan. Dengan bantuan teman-teman dan Bapak Dosen khususnya, hal tersebut akan lebih mendekati kata sempurna.
B.                 Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian hukum dan bagaimana pembagiannya?
2.      Apa pengertian hukum Taklifi?
3.      Apa pengertian hukum Wadh’i?
4.      Apa pengertian hukum Takhyiri?

C.                Tujuan
1.      Mengenal hukum beserta pembagiannya.
2.      Mengenal, memahami dan mengamalkan hukum Taklifi.
3.      Mengenal, memahami dan mengamalkan hukum Wadh’i.
4.      Mengenal, memahami dan mengamalkan hukum Takhyiri.








BAB II
PEMBAHASAN
A.                Pengertian Hukum
Hukum[1] adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan mereka yang akan dipilih. Administratif hukum digunakan untuk meninjau kembali keputusan dari pemerintah, sementara hukum internasional mengatur persoalan antara berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari perdagangan lingkungan peraturan atau tindakan militer. filsuf Aristotle menyatakan bahwa "Sebuah supremasi hukum akan jauh lebih baik dari pada dibandingkan dengan peraturan tirani yang merajalela."
Hingga saat ini, belum ada kesepahaman dari para ahli mengenai pengertian hukum. Telah banyak para ahli dan sarjana hukum yang mencoba untuk memberikan pengertian atau definisi hukum, namun belum ada satupun ahli atau sarjana hukum yang mampu memberikan pengertian hukum yang dapat diterima oleh semua pihak.[2]  Ketiadaan definisi hukum yang dapat diterima oleh seluruh pakar dan ahli hukum pada gilirannya memutasi adanya permasalahan mengenai ketidaksepahaman dalam definisi hukum menjadi mungkinkah hukum didefinisikan atau mungkinkah kita membuat definisi hukum? Lalu berkembang lagi menjadi perlukah kita mendefinisikan hukum?.
Sedangkan hukum syara’ menurut ulama ushul ialah doktrin (kitab) syari’ yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf secara perintah atau diperintahkan memilih atau berupa ketetapan (taqrir). Sedangkan menurut ulama fiqh hukum syara ialah efek yang dikehendaki oleh kitab syari’ dalam perbuatan seperti wajib, haram dan mubah .
Syariat[3] menurut bahasa berarti jalan. Syariat menurut istilah berarti hukum-hukum yang diadakan oleh Allah untuk umatNya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik hukum yang berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun hukum-hukum yang berhubungan dengan amaliyah. Hukum Islam.
Hukum Islam berarti keseluruhan ketentuan-ketentuan perintah Allah yang wajib diturut (ditaati) oleh seorang muslim. Dari definisi tersebut syariat meliputi:
1.      Ilmu Aqoid (keimanan).
2.      Ilmu Fiqih (pemahaman manusia terhadap ketentuan-ketentuan Allah).
3.      Ilmu Akhlaq (kesusilaan).
Berdasarkan uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa hukum Islam adalah syariat yang  berarti hukum-hukum yang diadakan oleh Allah untuk umat-Nya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik hukum yang berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun hukum-hukum yang berhubungan dengan amaliyah (perbuatan).
B.                 Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah Hukum yang mengandung perintah, larangan atau memberi pilihan kepada seorang mukallaf. Perintah Allah terbagi menjadi dua; Wajib dan Sunnah.  Larangan Allah terbagi menjadi dua; Haram dan Makruh. Pilihan boleh (Mubah) terbagi menjadi dua; boleh mengerjakan boleh meninggalkan.
1.      Wajib.
Menurut bahasa Wajib berarti tetap atau pasti. Adapun menurut istilah Wajib adalah: “sesuatu yang diperintahkan oleh Allah dan Rasulullah untuk dilaksanakan oleh seorang mukallaf. Wajib terbagi menjadi tiga bagian secara garis besar:
a.       Dari sisi pembebanannya: Wajib Ain dan Wajib Kifayah.
b.      Dari sisi kandungan perintah: Wajib Mu’ayyan dan Wajib Mukhoyyar.
c.       Dari sisi waktu pelaksanaannya: Wajib Mutlak dan Wajib Muaqqat.

2.      Sunnah.
Hukum Sunnah merupakan sesuatu yang dianjurkan. Menurut sebagian ulama Ushul, Sunnah terbagi menjadi tiga bagian:
a.       Sunnah Muakkad.
b.      Sunnah Ghairu Muakkad.
c.       Sunnah Zawaid.

3.      Haram.
Haram adalah sesuatu yang dilarang mengerjakannya. Di dalam kajian Ushul Fiqih diuraikan bahwa sesuatu yang dilarang oleh Allah pasti membawa kerusakan dan bahaya. Sedangkan sesuatu yang diwajibkan oleh Allah pasti membawa kebaikan dan kedamaian.
Ulama Ushul membagi haram kedalam dua bagian:
a.       Haram Li-Dzatihi.
b.      Haram Li-Ghoirihi

4.      Makruh.
Makruh secara bahasa berarti “sesuatu yang dibenci”. Adapun secara istilah, makruh adalah: “Sesatu yang dianjurkan oleh syariat untuk meninggalkannya, bilamana ditinggalkan maka akan terpuji dan bila dikerjakan tidak berdosa”. Contoh: berkumur pada bulan ramadlan.

5.      Mubah.
Mubah secara bahasa berarti “sesuatu yang diperbolehkan”. Secara istilah mubah adalah: “sesuatu yang diberi pilihan oleh syariat apakah akan melakukan atau tidak melakukan, dan tidak ada hubungannya dengan dosa”. Contoh: makan dll.

C.                Hukum Wadh’i
Hukum Wadl’i[4] adalah Ketentuan syariat dalam bentuk menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat atau sebagai mani’ (penghalang). Dengan demikian hukum wadl’I terbagi menjadi 3 macam: Sebab, Syarat dan Mani’ (penghalang).
1.       Sebab.
Sebab adalah sesuatu yang dijadikan oleh syariat sebagai tanda bagi adanya hukum, dan tidak adanya sebab sebagai tanda tidak adanya hukum. Jika ada sebab maka ada hukum dan jika tidak ada sebab maka tidak ada hukum.
Contoh: Tergelincirnya matahari menjadi sebab datangnya waktu dluhur. Anak menjadi sebab seseorang mendapat warisan orang tuanya. Tindakan perzinaan menjadi sebab seseorang dihukum cambuk. Gila menjadi sebab hartanya dipegang oleh walinya. Jual beli menjadi sebab bagi perpindahan kepemilikan barang.

2.      Syarat.
Syarat adalah sesuatu yang tergantung kepadanya adanya sesuatu yang lain, dan berada diluar hakekat sesuatu itu.
Contoh: Wudlu sebagai syarat sahnya sholat. Si A berkata kepada si B: “Jika kamu membantu saya maka hutangmu lunas.” Membantu di sini adalah sebagai syarat hutang si B lunas. Menyarahkan ijazah sebagai syarat pendaftaran di kampus UNHASY.
Syarat dibagi menjadi 2 macam: Syarat Syar’I (Syarat yang ditetap-kan oleh syariat) dan Syarat Ja’li (Syarat yang ditetapkan oleh mukallaf).

3.       Mani’.
Mani’ adalah sesuatu yang ditetapkan oleh syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum atau penghalang bagi berfungsinya suatu sebab.
Contoh: Membunuh istri sebagai mani’ (penghalang) suami tidak mendapat warisan istri. Haidl sebagai mani’ (penghalang) seorang wanita mukallaf melakukan sholat. Hutang sebagai mani’ (penghalang) seseorang tidak wajib mengeluarkan zakat.
Mani’ dibagi menjadi 2 macam: Mani’ Hukum Syara’ dan Mani’ Sebab.

D.                Hukum Takhyiri
Takhyir[5] adalah Syari’ (Allah dan Rasul) memberikan pilihan kepada mukallaf untuk memilih melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan. Hukum yang terambil dari nash dengan gaya redaksi ini hukumnya adalah halal. Artinya seorang mukallaf boleh melakukan / meninggalkan.[6] Dalam pembahasan ilmu ushul hukum, takhyiri biasa disebut dengan mubah.
Redaksi Takhyiri antara lain:
1.      Menyatakan bahwa suatu perbuatan, halal dilakukan. Contoh dalam Surat al-Baqarah Ayat 187 yang artinya “Dihalalkan bagimu pada malam hari-hari puasa bercampur dengan istri-istrimu, mereka adalah pakaianmu dan dan kamu adalah pakaian mereka...”
2.      Pembolehan dengan menafikan dosa dari suatu perbuatan, contoh dalam Surat al-Baqarah Ayat 173 yang artinya “Tetapi barang siapa yang dalam keadaan terpaksa sedang ia tidak menginginkannya, dan tidak pula melampaui batas maka tidak ada dosa baginya (makan), sesungguhnay Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
3.      Pembolehan dengan menafikan kesalahan dari melakukan suatu perbuatan, contoh dalam Surat al-Baqarah Ayat 235 yang artinya “Dan tidak ada kesalahan bagimu meminang wanita-wanita itu (dalam ’iddah wafat) dengan sindiran atau kamu menyembunyi-kan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu...”




























BAB III
KESIMPULAN
Hukum syara’ sebagai doktrin syari’ yang bersangkutan dengan perbuatan para mukallaf secara perintah atau diperintahkan memilih atau berupa taqrir. Hukum syara juga dikatakan sebagai efek yang dikehendaki oleh kitab syari’ dalam perbuatan seperti wajib, haram dan mubah.
Hukum taklifi mengandung unsur perintah, larangan dan atau memberi pilihan kepada seorang mukallaf. Perintah Allah ada dua; Wajib dan Sunnah.  Larangan Allah ada dua; Haram dan Makruh. Dan pilihan Mubah juga ada dua; boleh mengerjakan dan boleh boleh meninggalkan.
Hukum Wadl’i adalah ketentuan syariat dalam bentuk menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat atau sebagai mani’ (penghalang).
Takhyir adalah pemberian pilihan kepada mukallaf untuk memilih melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan. Hukum yang terkandung adalah halal. Artinya seorang mukallaf boleh melakukan atau meninggalkannya. Dalam lokasi yang berbeda di pembahasan ilmu ushul, hukum takhyiri lebih familiar disebut dengan mubah.



DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad At-Tahanawi. “Kisyaaf Ishthilaahaat al-Funun”.
Beik, Muhammad al-Khudhari.2007. Ushul Fiqh”. terj.Faiz el-Muttaqien. Jakarta. Pustaka Amani.
Bisri, Adib dan Munawwir A. Fatah. 1999. Kamus Al-Bisri”. Surabaya. Pustaka Progresif.

Karim, A. Syafi’i. 1997. Fiqih Ushul Fiqih” (Cet. I). Bandung. Pustaka Setia.

Hamilton, Marci. 2005. God vs. the Gavel. Inggris. Cambridge University Press.



[1] Hamilton, Marci. God vs. the Gavel, page 296 (Cambridge University Press 2005): “The symbol of the judicial system, seen in courtrooms throughout the United States, is blindfolded Lady Justice.”
[2] Norma hukum dapat dibedakan antara norma hukum fakultatif dan norma hukum imperatif. Sebagaimana sebutannya, norma hukum imperatif merujuk pada norma hukum yang bersifat memaksa sedangkan norma hukum fakultatif adalah merujuk pada norma hukum yang mengatur dan bersifat menambah atau melengkapi. Meski demikian kadang pula dijumpai norma hukum yang sekaligus memiliki kedua sifat tersebut, yakni bersifaf mengatur sekaligus bersifat memaksa.
[3] Menurut Prof. Mahmud Syaltout; “Syariat adalah peraturan yang diciptakan oleh Allah supaya manusia berpegang teguh kepadaNya di dalam perhubungan dengan Tuhan dengan saudaranya sesama Muslim dengan saudaranya sesama manusia, beserta hubungannya dengan alam seluruhnya dan hubungannya dengan kehidupan.” Menurut Muhammad ‘Ali At-Tahanawi dalam kitabnya Kisyaaf Ishthilaahaat al-Funun memberikan pengertian bahwa syari’ah mencakup seluruh ajaran Islam, meliputi bidang aqidah, ibadah, akhlaq dan muamallah (kemasyarakatan). Syari’ah disebut juga syara’, millah dan diin.
[4] A. Syafi’i Karim, FIQIH USHUL FIQIH, Cet.I, (Bandung:Pustaka Setia, 1997) hlm.  107
[5] Adib Bisri, Munawwir A. Fatah, Kamus Al-Bisri (Surabaya: Pustaka Progresif, 1999), hlm. 181.
[6] Muhammad al-Khudhari Beik, Ushul Fiqh, terj.Faiz el Muttaqien (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), hlm. 63.

0 comments: